Angela
Bab 1 Proyek
Pagi yang menyenangkan, begitulah yang ku rasa jika mendapat tugas memompa adrenalin ke suatu daerah yang masih perawan, setidaknya aku bisa mengganti udara di paru-paru dengan yang lebih fresh, karena hutan berdaun lebat tentu lebih banyak memproduksi oxigent dibandingkan Kota.
Kembali kubaca peta wilayah, kelengkapan dan alat yang menjadi bagian tanggung jawabku di selembar kertas yang kemarin diterima Lana dari Hanan, teman satu Teamku.
Semua kebutuhan, seperti selimut, senter, obat-obatan, pakaian untuk tiga hari manggung, maksudnya nggunung masuk secara teratur kedalam ransel dengan panjang tujuh puluh sentimeter dan berkapasitas dua ratus kilogram.
Lana tidak banyak bicara, kalau saat repot seperti ini dia ngusik sudah barang tentu dia ku lumat. Lana sepertinya penasaran, berapa kali dia berusaha mengajak ku bicara, menanyakan kemana tujuan Timku kali ini.
“Boleh Lana Lihat peta nya, Mbak?”
“Nih ....”
Mata Lana membulat, jemarinya mengitari gambar yang tidak begitu besar di kertas. Aku tidak terlalu peduli, karena masih sibuk menata barang yang akan dibawa.
“Mba May, jangan kesana!” Lana menatap lekat.
“Tapi kenapa, Dek?”
“Seminggu yang lalu teman Lana kesurupan, dia kejang-kejang, trus dia ngigau mau bunuh orang yang nginjek anaknya, kejadiannya di daerah itu, Mba.” Lana terlihat serius, wajahnya memucat. Kembali dia baca nama tempat yang tertera di peta.
“Alah yang gitu-gitu ngga usah di percaya, dek.” Rambut Lana ku acak, berlalu sembari menenteng ransel persiapan bedah wilayah peninggalan Belanda, tak lupa mencium pipi adik kesayanganku yang masih cemberut.
“Beneran, Mbak.” Lana melotot.
“Makanya inget Tuhan, kalau fikiran kosong ya gampang Si Jinni masuk.” Aku ngeloyor, Lana mengejar ke pintu dan berteriak.
“Mbak ... banyak-banyak baca ayat kursi ya ....” Lambaian tangan dan secuil senyum kemudian menghilang dibalik pagar, aku tau Lana pasti masih berdiri di pintu dengan wajah masam.
Kali ini Team Jelajah Alam besutan Bang Akmal harus melakukan perjalanan sesuai petunjuk dipeta, melewati hutan dan jembatan usang, yang bertujuan untuk mencari makam lama peninggalan Belanda yang bernilai sejarah. Dalam berapa kali proyek pencarian situs budaya, team kami selalu membawa kesuksesan, sehingga kami diminta kembali melaksanakan proyek serupa.
Butuh waktu seminggu, begitu pendapat sebagian anggota yang terdiri dari empat orang perempuan dan lima orang cowo kece yang masih jomblowan sejati, dalam satu Team Rimba tidak boleh pacaran, begitu aturannya. Takut nanti di hutan salah langkah, yang namanya rimba belantara pasti dihuni makhluk tak kasat mata, jadi No buat cinta-cintaan.
Team kami memang sering dipakai untuk bedah wilayah, apalagi sebagian anggota team merupakan mahasiwa jurusan sejarah dan geologi, dalam sebuah Team yang terpenting anggotanya memiliki semangat dan tidak gampang menyerah.
Pernah sekali kami harus berada di hutan belantara hampir sebulan, untuk sebuah proyek penemuan bekas permukiman masyarakat di perbatasan Sumpur Kudus dengan Riau. Alhamdulillah sukses walau pulang dalam keadaan kurus dan letih, bagi kami tidak mengapa ceking yang penting kerja berhasil.
Biasanya Lana tidak pernah ngeyel, beda dengan keberangkatan kali ini.
“May, lo kenapa?, kusut gitu. Kurang doping kali... nih ada telor bebek, bikin teh telor dulu biar fit.” Hanan menepuk bahu kemudian duduk disamping ku.
“Apaan, Sih. Sono duduk, jangan dekat-dekat. Kagak muhrim,” ujarku sambil mengulum senyum, dasar playboy cap kampak.
“Alah, secuil aja kagak nempel.” balas Hanan merungut. Wajahnya terlihat lucu, dengan mulut memble.
Beberapa kursi bambu tersusun rapi di bawah pondok, ya ... tempat ini adalah yang paling nyaman di posko TJA, bahkan sudah menjadi rumah kedua bagi anggota team. Selain itu juga, disini kami sering melahirkan ide-ide kreatif seperti lukisan dan literasi bersama. Jadi jangan kaget kalau dinding yang terbuat dari bambu banyak ditempeli lukisan dan karya sastra yang ditulis di pelepah kayu atau daun kering.
Aku masih asik menikmati gambar-gambar yang terpajang di dinding luar posko, Hanan yang yang duduk di sampingku juga sama, hingga akhirnya dia terbahak.
“Noh, liat. Foto kamu saat di Rantih Sawahlunto, culun amat, ya.”
“Lo, juga, tuh. Rambut berdiri gitu, apa ngga ada yang cakepin dikit buat di pajang.” Timpalku meledek.
“May ... kompas, senter, korek api dan P3K, ready?” Aku mengangguk tanpa melihat Bang Akmal yang ternyata telah berdiri di samping ku.
“Berarti bisa berangkat sekarang?” Bang Akmal sudah siap dengan ransel dan jaket yang melilit pinggang.
Semua mengangguk, selesai berdoa perjalanan dimulai, sebuah petualangan yang akan menguras energi tapi mendatangkan ketenangan. Ya... kami begitu nyaman berada di rimba.
Berapa nyanyian mengalun, yel-yel tanda kebersamaan bersahutan dengan derum mesin Mobil Grand Max metalic yang kami pakai sebagai transportasi. Melintasi lembah di kaki bukit yang berjejer rapi itu sesuatu banget, aku, Ana, Danu, Laila dan Hanan serta Anti duduk dibelakang. Sementara Bang Akmal, Anja dan Anto didepan.
Terpaan angin terasa sejuk di badan, karena kami tidak terhalang box. Duduk di mobil terbuka merupakan hal yang luar biasa menyenangkan bagi petualang seperti kami.
Mobil terasa lamban melaju, ketika membelah perbukitan dengan jalan tanah berbatu. Sesekali kami harus turun mendorong mobil, karena roda turun dari jalan akibat licin.
Berat memang, lelah tentunya. Tapi ini adalah dunia kami, dunia dengan segala keistimewaan, dimana alam mengajarkan kami saling menghargai, saling membantu dan saling mengingatkan, bahwa alam dan isinya adalah ciptaan Yang Maha Kuasa, dan kami hanya setitik noktah.
Untuk mencapai lokasi pencarian, kami harus jalan kaki sejauh lima kilo meter. Karena tidak bisa dilewati kendaraan. Jadi mobil terpaksa diparkir agak jauh dari lokasi.
“Sepertinya, di sini aman.” Bang Akmal turun dari mobil, setelah meminggirkan mobil di padang rumput yang dipenuhi perdu berduri.
Daerah ini terpencil, sangat jauh dari pemukiman dan sepertinya jarang dilalui manusia, terlihat dari semak dan akar yang sudah menjalar dan menghambat jalan setapak yang akan kami lewati.
Bang Akmal sebagai penunjuk jalan berada paling depan, sementara kami yang perempuan berada di tengah barisan. Begitulah setiap kali melakukan petualangan, anggota laki-laki akan melindungi dan mengapit perempuan depan dan belakang, biar aman katanya.
“May, Gua liat dari tadi lo banyak diem nya ... kenapa emangnya?,” Ana memecah kebisuan, saat dia membanting naik ke batu besar yang menghambat langkah. Ku coba mengatur nafas yang semakin memburu karena baru saja melewati pendakian yang lumayan tinggi.
“Ngga kenapa-napa.” Nafas masih tersengal, mau bicara jujur takut di cemooh. Walau sebenarnya aku ingin menceritakan apa yang disampaikan Lana tadi pagi sebelum berangkat, tentang temannya yang kesurupan.
“Kalo PMS dilarang masuk hutan, May,” Hanan cekikikan, dasar tukang nguping. Lelaki itu berdiri sejajar dengan aku dan Ana, yang sedang mengumpulkan energi.
Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di dataran berumput hijau yang sangat luas, kata bang Akmal lima ratus meter lagi kami akan menemukan sungai yang dilintasi jembatan kayu, begitu yang tergambar di peta.
Sejenak kami melepaskan lelah di pinggir padang rumput, di sini banyak ilalang liar yang berbunga. Aku suka ilalang, apalagi ketika bunganya di terbangkan angin, seperti mandi salju.
“Hei, dalam hutan, dilarang melamun. Bisa kesambet kamu.” Laila menepuk bahuku dari belakang.
“Hei ... dengar, suara air mengalir.” Suara Anto membuat semua terdiam, fokus mendengarkan gemericik air yang datang dari lembah bagian selatan.
Yang paling membuat aku nyaman berada di hutan belantara seperti ini, adalah udaranya yang masih bersih. Sehingga udara yang masuk ke paru-paru akan lebih bermanfaat bagi tubuh, setidaknya bisa membuat pernafasan terasa longgar dan tubuh kembali segar.
Bukan hanya aku yang menikmati sensasi udara dengan aroma pohon, yang lain juga. Buktinya mereka asyik menghirup udara dengan mata terpejam. Aku dan Ana duduk berdampingan, sementara Hanan duduk di batu besar yang ditumbuhi lumut menyerupai kepala manusia.
“Istirahat yang cukup, biar nyambung.” Seloroh Bang Akmal, ku lihat dia sering mencuri pandang ke arahku sambil mengulum senyum. Atau memang aku yang kurang memperhatikannya, selama ini?
Darahku berdesir setiap kali mata kami beradu dalam sebuah tatapan, aku menunduk sedang Bang Akmal tersenyum jengah. Entah kenapa aku merasa lelaki itu lebih menawan dari biasa.
Melihat alis bang Akmal bertaut, memicingkan mata, kemudian menghempaskan nafas. Duniaku seperti bewarna jingga, ah andai saja lelaki itu mau menjadi bagian jiwaku.
“Woi ....” Aku tersentak, Hanan melempar ranting kering ke kakiku yang terunjur.
“Dasar culun.” Balas ku sewot.
Terdengar kekehan tawa yang lain, saat mukaku merah, ternyata mereka memperhatikan gerak-gerikku dan Bang Akmal.
Oh ...
Pengagum cinta, biarkan aku mengenalmu dalam hijaunya dunia, dan biarkan rasa ini tetap ada, meski mulut enggan bicara. Karena hati tau siapa pemilik rasa yang sama.
Senyumku mengembang, begitu juga Bang Akmal. Mata kami saling bertatapan, melewati berapa pasang mata yang menatap heran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar