Jumat, 24 Januari 2020

Fenomena Pemahaman salah kaprah antara orang-orang klasik dengan modern

Orang Jawa pasti nggak asing ya mendengar kata-kata itu. “Nek iso Bareng, nyapo kudu dipisah” Dalam bahasa Indonesia, artinya “Kalau bisa bersama, mengapa harus dipisah?”. Bersama disini bisa juga diartikan sebagai bersandingan. Mungkin sebagian agan disini ada yang memaknai ungkapan tersebut adalah ungkapan bagi orang yang sedang galau saat jatuh cinta. Tapi bagi sebagian laen, pasti juga ada yang berfikir apa maksut dari ungkapan ane diatas.

Ane nggak lagi bahas soal cinta kok, tapi ane kepingin membahas tentang kejawen. Banyak sekali buku-buku yang membahas tentang kejawen, agama jawa, besertatetek mbengeknya, yang membahas meliputi ajaran, amalan, dan asal-usulnya.

Jika orang klasik dengan orang modern disandingkan, tentu berbeda kan ya gan sis... Dari cara berfikir, hubungan interaksi, bahkan adat dan budaya juga sudah bebeda. Inilah yang sebenarnya melatarbelakangi ane untuk menggali lebih dalam fenomena-fenomena yang terjadi disekitar ane. Sebenarnya siapa sih yang salah? leluhur kita kah? atau jangan-jangan orang-orang modern sekarang ini nih?


Kalo kita bicara soal agama dan budaya, ngga akan ada habisnya dari a sampai z. Agama dan budaya memang suatu hal yang berbeda. Jelas, Agama berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya. Sedangkan budaya berkaitan dengan aturan-aturan atau norma-norma yang dilakukan leluhur kita guna menghormati ciptaan Sang Maha Agung di sekitarnya. Sedangkan kejawen sendiri hakikatnya adalah suatu tata cara atau aturan di dalam berkehidupan, baik kepada sesama manusia, alam, para leluhur, dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Yang menjadi topik adalah pada zaman milenial ini, orang-orang telah menganggap bahwa ajaran kejawen itu salah. Bid’ah jika melakukan ritualnya. Yang ane bingungin kenapa orang-orang zaman modern ini sangat gampang mengucap bid’ah? Mengapa sih tak ada ruang untuk kejawen? Sebenernya disini siapa yang patut disalahkan? Kejawen-nya atau pelaku ritualnya?

Kita harus sering membaca, bertukar pikiran dengan orang lain agar tau sejarah. Kejawen seakan-akan tidak diberi ruang dan celah untuk menjelaskan “apa makna ritual yang terkandung” pada zamannya. Istilahnya begitu lah ya gan..

Dalam pembicaraan singkat ane dengan Mas Mada, salah satu tim Kisah Tanah Jawa, Beliau mengatakan bahwa memang ada gerakan-gerakan yang sengaja mengaburkan budaya Jawa dan dibenturkan dengan isu agama, salah satunya Tarekat Kaballah (Agan googling dan cari tau sendiri aja ya hehe). Padahal jika dikulik lebih dalam, agama dan budaya sudah tentu hal yang berbeda. Tapi keduanya berjalan beriringan. Maka jika wong Jowo bilang “Nek iso bareng, nyapo kudu di pisah?”, ibarat kita hidup di dunia ini tetap membutuhkan agama sebagai pedoman kita sedangkan budaya juga sangat kita butuhkan untuk menghormati berbagai ciptaan Sang Maha Agung.

Salah satu contoh yang ane ambil sesaji. Ajaran kejawen sangat identik dengan sesaji beserta ritual-ritualnya. Dikutip dari literatur Agama Jawa yang ditulis Prof. Dr. Suwardi Endraswara, Agama Jawa selalu menggariskan fungsi sesaji sebagai; (1) langkah negoisasi spiritual dengan kekuatan adikodrati agar tidak menganggu, (2) pemberian berkah kepada warga sekitar, agar ikut merasakan hikmah sesaji, (3) perwujudan keikhlasan diri, berkorban kepada Kang Gawe Urip (dalam hal ini Gusti Allah). Yang terakhir, sesaji merupakan bentuk ucapan terima kasih.

Nah letak perbedaanya adalah, orang zaman modern menganggap bahwa ritual-ritual dengan menggunakan sesajen tersebut dipersembahkan untuk prewangan atau dalam hal ini makhluk halus.

Mungkin bisa jadi dari hal tersebut, masyarakat milenial yang awam akan selalu men-judge bahwa cara-cara kejawen yang diajarkan orang Jawa atau leluhur pada zaman dahulu adalah salah. Bahkan tak segan-segan menganggap bid’ah. Padahal jika kita mempelajari sejarahnya, sesaji hanyalah upacara simbolik untuk menghormati yang ghaib, dalam hal ini alam semesta atau lingkungan. Para leluhur percaya bahwa kita ini di dunia hidup secara berdampingan, antara yang tampak maupun tak tampak. Maka harus saling menghormati. Jadi hal ghaib yang leluhur maksudkan bukanprewangan, melainkan alam semesta. Dan mereka sama sekali tidak menyembah selain Kang Gawe Urip. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar